KERAJAAN MARUSU
Kerajaan
Marusu merupakan Kerajaan tertua di Wilayah Maros, hanya dalam
konteks ini Marusu tidak lagi dianggap sebagai Kerajaan yang
dibentuk oleh Karaeng LoE ri Pakere sebab telah mengalami pergeseran
wilayah yang teramat jauh demikian pula bentuk dan status
pemerintahannya sangat berbeda dengan zaman Karaeng LoE ri Pakere dan
pewarisnya yang berbentuk Kerajaan/Monarki absolut, tetapi Marusu
disini adalah wilayah yang terbentuk sebagai Kerajaan Lokal, daerah
protektorat Kerajaan Bone, pasca Perang Bone I kemudian selanjutnya
menjadi Distrik Adat Gemenschap.
Pasca
era KaraEng LoE ri Pakere, Marusu diperintah secara berurutan oleh :
1.
La Mamma Daeng Marewa Tunibatta Matinroe ri Samanggi
2.
La Tifu Daeng Mattana Matinroe ri Marusu
3.
La Mappalewa Daeng Mattayang Matinroe ri Karaso
4.
La Manyandari Daeng Paranreng Matinroe ri Campagae
5.
La Mallawakkang Daeng Pawello Matinroe ri Kuri
6.
La Surulla Daeng Palopo Tumenanga ri Bundu’na
7.
I Mappasossong Daeng Pabundu Matinroe ri Kassikebo
8.
I Pake Daeng Masiga Karaeng Ilanga Matinroa ri Masigi’na
9.
Haji Abdul Hafid Daeng Ma’ronrong
10.
Muhammad Tajuddin Daeng Masiga
Daerah-daerah
yang menjadi wilayah hukum Marusu adalah melingkupi 34 kampung, yaitu
Taipa, Baru-baru, Kaemba, Pampangan, Kanjitongang, Jawi-jawi,
Kampala, Barambang, Allu, Kaluku, Manrimisi Marusu, Kuri Lompo,
Kassikebo, Betang, Bentang, Marusu, Data, Palisi, Bontobiraeng,
Bontomanai, Patte’ne, Pangkaje’ne, Lekoala, Tekolabbua, Matana,
Bulu-bulu, Kalli-kalli, Mannuruki, Mambue, Bontokappong, Batiling,
Leppakkomai, Mannaungi dan Satanggi
Pada tahun 1963 Marusu bersama Turikale, Lau dan Bontoa dilebur dengan nama Kecamatan Maros Baru, dengan Camat I ialah Muhammad Tajuddin Daeng Masiga Karaeng Marusu.
KERAJAAN BONTOA
Pada
awalnya Bontoa bernama Tanetea setelah berdiri sebagai sebuah daerah
berpemerintahan adat maka namanya diubah menjadi Bontoa.
Bontoa
dibuka pertama kali oleh I Manjarrang, putera Karaeng Labbua Tali
Bannanna Bangkala. I Manjarrang diperintahkan membuka perkampungan di
Bontoa setelah mempersunting puteri Raja Gowa untuk dijadikan
pemukiman bersama keluarga dan para pengikutnya.
Urut-urutan
raja yang memerintah Bontoa sejak berdirinya hingga tahun 1963 adalah
sebagai berikut :
1.
I Manjarrang
2.
I Manjuwarang
3.
I Daeng Siutte
4.
I Daeng Manguntungi
5.
I Pakandi Daeng Massuro
6.
I Pandima Daeng Malliongi
7.
I Daeng Tumani
8.
I Mangngaweang Daeng Mangalle
9.
I Rego Daeng Mattiro
10.
I Parewa Daeng Mamala
11.
I Sondong Daeng Mattayang
12.
I Bausa Daeng Sitaba Karaeng Tallasa
13.
I Bambo Daeng Matekko Sullewatang Lau
14.
I Radja Daeng Manai
15.
Abdul Maula Intje Jalaluddin
16.
I Radja Daeng Manai (ke-2 kalinya)
17.
Andi Mamma Daeng Sisila
18.
Andi Djipang Daeng Mambani
19.
Haji Andi Mamma Daeng Sisila (ke-2 kalinya)
20.
Andi Djipang Daeng Mambani (ke-2 kalinya)
21.
Haji Andi Radja Daeng Nai Karaeng Loloa
22.
Haji Andi Muhammad Yusuf Daeng Mangngawing
Wilayah
hukum Bontoa melingkupi 16 kampung daerah pesisir pantai, sebelah
Utara Marusu, yaitu Bontoa, Salenrang, Sikapaya, Balosi, Parasangang
Beru, Panaikang, Batunapara, Tangnga Parang, Lempangang,
Panjallingang, Ujung Bulu, Belang-belang, Suli-suli, Pannambungan,
Mangemba dan Tala’mangape.
KERAJAAN LAU’
Lau'
pada awalnya adalah sebuah daerah Kasullewatangan (kesultanan) yang dibentuk dalam
tahun 1824 ketika pasukan Bone berhasil diusir dari wilayah Maros,
oleh pemerintah Gubernemen membentuk empat daerah Kasullewatangan
yaitu Lau’, Wara, Raya dan Timboro.
Yang
menjadi Sullewatang Lau’ pertama adalah La Mattotorang PagelipuE
Abdul Wahab Daeng Mamangung, putera dari La Mauraga Sultan Adam Datu
Mario ri Wawo dari istri bernama Ince Jauhar Manikam I Denra Petta
WaliE puteri dari Ince Abi Asdollah Dato’ Pabean, Bendahara
Kerajaan Gowa.
Selanjutnya
La Mattotorang Daeng Mamangung diangkat menjadi Regent/Karaeng Lau’
pertama ketika seluruh daerah pemerintahan adat di Maros dibentuk
menjadi Regentschappen. Ketika wafat La Mattotorang Daeng Mamangung
dimakamkan di Laleng Tedong sehingga diberi gelar anumerta Matinroe
ri Laleng Tedong.
Urut-urutan
raja yang memerintah Lau’ adalah sebagai berikut :
1.
La Mattotorang Daeng Mamangung Matinroe ri Laleng Tedong
2.
La Tenrowang Daeng Pasampa Matinroe ri Manrimisi
3.
La Rombo Muhammad Saleh Daeng Lullu Matinroe ri Kassikebo
4.
Andi Pappe Daeng Massikki
5.
Andi Abdullah
Wilayah
hukum Lau’ melingkupi 31 buah Kampung, yaitu Maccini Ayo,
Lemo-lemo, Bontokadatto, Bontorea, Pute, Sampobia, Galaggara,
Langkeang, Lopi-lopi, Tammate, Bulu’sipong, Tapieng, Pacelle,
Pappandangang, Sengkalantang, Manrimisi Lau, Kalumpang,
Balang-balang, Coppenge, Kacumpureng, Nipa, Jangka-jangkaE, Laleng
Tedong, Campagae, Pandanga, Padaria, Binanga Sangkara,
Mangara’bombang, Sabanga, Marana’ dan Kaddarobo’bo.
KERAJAAN TURIKALE
Wilayah
Turikale pada awalnya hanya didiami segelintir manusia dengan cara
hidup tidak menetap. Daerahnya pun masih merupakan hutan-hutan dan
daerah persawahan. Sungai Maros melintas ditengahnya. Setelah Karaeng
LoE ri Marusu (Raja Maros III) memindahkan pusat kerajaan dari Pakere
ke Marusu, penduduk Pakere dan beberapa kampung di sekitarnya yang
banyak penduduknya mulai berpindah mendekati pusat kerajaan yang baru
membuka perkampungan dan pemukiman baru.
Putera
Karaengta Barasa yang bernama Muhammad Yunus Daeng Pasabbi (Kare
Yunusu), dikirim oleh ayahandanya mengikuti Pendidikan Tinggi Agama
Islam di Bontoala. Dalam masa pendidikannya ia berkenalan dengan
salah seorang putera Raja Tallo ( I Mappau’rangi Karaeng Boddia)
yang bernama I Mappibare Daeng Mangiri. Persahabatan yang terjalin di
antara mereka sangatlah akrab. Mereka berdua setiap ada kesempatan
saling bertukar fikiran dan berdiskusi dalam banyak hal, baik
menyangkut ketatanegaraan terlebih lagi ikhwal Agama Islam.
Setelah
Karaengta Barasa mangkat, Muhammad Yunus Daeng Pasabbi naik tahta
menggantikan ayahnya sebagai Raja Maros VIII.
Di
masa pemerintahannya, beliau kemudian mengajaknya sahabatnya I
Mappibare Daaeng Mangiri untuk menetap di Maros untuk bersama-sama
memajukan agama Islam.
I
Mappibare Daeng Mangiri ternyata tidak keberatan lalu menetaplah Ia
di Maros dan kepadanya diberikan wilayah ini sebagai wilayah yang
dikuasainya sekaligus sebagai tempat I Mappibare Daeng Mangiri
melaksanakan kegiatan pengembangan Ilmu Agama Islam.
Perkampungan
yang diberikan kepadanya itu diberi nama TURIKALE artinya Kerabat
Dekat, untuk memberikan pertanda bahwa I Mappibare Daeng Mangiri yang
diberi kuasa menempatinya adalah kerabat keluarga yang sangat akrab.
Maka
jadilah Turikale yang tadinya sebuah perkampungan tidak bertuan
menjadi wilayah yang teratur, sebab menjadi pusat pendidikan Agama
Islam. Statusnya sebagai wilayah otorita pengembangan Islam tetap
dipertahankan.
Turikale
bukan sebagai wilayah hukum berpemerintahan melainkan kesannya lebih
seperti sebuah daerah khusus istimewa.
I
Mappibare Daeng Mangiri memperistrikan seorang puteri bangsawan Gowa
bernama I Duppi Daeng Ma’lino dan setelah mangkat kepemimpinannya
digantikan oleh puteranya bernama I Daeng Silassa.
I
Daeng Silassa memperistrikan sanak keluarganya dari Gowa/Tallo yang
bernama Habiba Daeng Matasa, yang melahirkan sepasang putera-puteri,
yaitu I Lamo Daeng Ngiri dan I Tate Daeng Masiang.
I
Lamo Daeng Ngiri ini sekitar tahun 1796 kemudian membuka babakan baru
di Turikale setelah menjadikan Turikale tidak saja sebagai daerah
pengembangan Agama Islam tetapi juga sebagai sebuah daerah berotonomi
dan berpemerintahan sendiri. Hal ini tentu sangat memungkinkan bagi I
Lamo Daeng Ngiri, sebab Turikale telah memiliki pengaruh yang sangat
luas. Turikale kemudian diproklamirkan sebagai sebuah Kerajaan
berpemerintahan sendiri yang lepas dari kekuasaan hukum kerajaan
manapun juga.
Urut-urutan
raja yang memerintah Turikale adalah:
1.
I Lamo Daeng Ngiri (1796 - 1831)
2.
Muhammad Yunus Daeng Mumang (1831 - 1859)
3.
La Oemma Daeng Manrapi (1859 - 1872)
4.
I Sanrima Daeng Parukka (1872 - 1882)
5.
I Palaguna Daeng Marowa (1882 - 1817)
6.
Andi Abdul Hamid Daeng Manessa (1917 - 1946)
7.
Haji Andi Mapparessa Daeng Sitaba (1946 - 1959)
8.
Andi Kamaruddin Syahban Daeng Mambani (1959 - 1963)
Wilayah-wilayah
yang merupakan daerah hukum Turikale meliputi 43 kampung, yaitu
Redaberu, Solojirang, Bontokapetta, Kasuwarang, Soreang, Bontocabu,
Tambua, Kassijala, Pattalasang, Rea-rea, Manrimisi Turikale, Kuri
Caddi, Sungguminasa, Data, Panaikang, Buttatoa, Tumalia, Baniaga,
Maccopa, Kassi, Buloa, Sangieng (Tana Matoana Turikale), Pakalli,
Bonti-bonti, Paranggi, Moncongbori, Mangngai, Manarang, Camba Jawa,
Bunga Ejaya, Pa’jaiyang, Ammesangeng, Samariga, Leang-leang,
Tompo’balang, Labuang, Karaso, Bonto Labbua, Tabbua, Balombong,
Balanga, Tala’mangape dan Sanggalea.
Selanjutnya
lahir Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 yang diberlakukan mulai
tanggal 1 Juni 1963. Pada saat itu seluruh Kerajaan Lokal/Distrik
Adat Gemenschaap termasuk Turikale dilebur. Turikale bersama dengan
Marusu, Lau’ dan Bontoa dilebur menjadi sebuah kecamatan dengan
nama Kecamatan Maros Baru.
No comments:
Post a Comment